Sabtu, 15 Desember 2012

Perluasan Pelabuhan Batubara

Kamis, 11 Oktober 2012 07:26 WIB | Dilihat 598 Kali
Perluasan Pelabuhan BatubaraPekerja mengawasi proses memasukan batubara ke kapal Tongkang di Pelabuhan Batubara milik PT Exploitasi Energi Indonesia Tbk (CNKO), Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Rabu (10/10). PT Exploitasi Energi Indonesia Tbk rencana awal tahun 2013 akan memperluas coal terminal dari kapasitas produksi 3 juta per tahun menjadi 10 juta per tahun dengan nilai investasi Rp 200 miliar. (FOTO ANTARA/Dhoni Setiawan)

SEJARAH BATU-BARA

Kabupaten Batu Bara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang pembentukannya tanggal 8 Desember 2006. Kabupaten ini diresmikan pada tanggal 15 Juni 2007, bersamaan dengan dilantiknya Penjabat Bupati Batubara, Drs. H. Sofyan Nasution, S.H.
Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan dan beribukota di Kecamatan Limapuluh.
Kabupaten Batubara adalah salah satu dari 16 kabupaten dan kota baru yang dimekarkan pada dalam kurun tahun 2006.

Kabupaten Batubara merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan dimana tujuh kecamatan di Kabupaten Asahan dikurangi dan dipindahkan wilayahnya menjadi wilayah Kabupaten Batubara. Kabupaten ini terletak di tepi pantai Selat Malaka, sekitar 175 km selatan ibu kota Medan. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Kabupaten Batubara termasuk ke dalam Karesidenan Sumatera Timur.

[sunting] Demografi

Penduduk Kabupaten Batubara didominasi oleh etnis Jawa, kemudian diikuti oleh orang-orang Melayu, dan Suku Batak. Orang Mandailing merupakan sub-etnis Batak yang paling banyak bermukim disini. Pada masa kolonial, untuk memperoleh prestise serta jabatan dari sultan-sultan Melayu, banyak di antara orang-orang Mandailing yang mengubah identitasnya dan memilih menjadi seorang Melayu. Etnis Jawa atau yang dikenal dengan Pujakesuma (Putra Jawa Keturunan Sumatra) mencapai 43% dari keseluruhan penduduk Batubara.[3] Mereka merupakan keturunan kuli-kuli perkebunan yang dibawa para pekebun Eropa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Selain itu orang Minangkabau juga banyak ditemui di kabupaten ini. Sejak abad ke-18, Batubara telah menjadi pangkalan bagi orang-orang kaya Minangkabau yang melakukan perdagangan lintas selat. Mereka membawa hasil-hasil bumi dari pedalaman Sumatra, untuk dijual kepada orang-orang Eropa di Penang dan Singapura.[4] Seperti halnya Pelalawan, Siak, dan Jambi; Batubara merupakan koloni dagang orang-orang Minang di pesisir timur Sumatra.[5] Dari lima suku (klan) asli yang terdapat di Batubara yakni Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh dan Suku Boga, dua di antaranya teridentifikasi sebagai nama luhak di Minangkabau, yang diperkirakan sebagai tempat asal masyarakat suku tersebut.

[sunting] Batas wilayah

Utara Bandar Khalipah (Kabupaten Serdang Bedagai) dan Selat Malaka.
Selatan Meranti (Kabupaten Asahan) dan Ujung Padang (Kabupaten Simalungun).
Barat Bosar Maligas, Bandar, Bandar Masilam, Dolok Batunanggar (Kabupaten Simalungun) dan Tebingtinggi (Kabupaten Serdang Bedagai).
Timur Air Joman (Kabupaten Asahan) dan Selat Malaka.

Jumat, 07 Desember 2012

Profil kabupaten Batu Bara

Kabupaten Batu Bara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang pembentukannya tanggal 8 Desember 2006. Kabupaten ini diresmikan pada tanggal 15 Juni 2007, bersamaan dengan dilantiknya Penjabat Bupati Batubara, Drs. H. Sofyan Nasution, S.H.
Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan dan beribukota di Kecamatan Limapuluh.
Kabupaten Batubara adalah salah satu dari 16 kabupaten dan kota baru yang dimekarkan pada dalam kurun tahun 2006.
Kabupaten Batubara merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan dimana tujuh kecamatan di Kabupaten Asahan dikurangi dan dipindahkan wilayahnya menjadi wilayah Kabupaten Batubara. Kabupaten ini terletak di tepi pantai Selat Malaka, sekitar 175 km selatan ibu kota Medan. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Kabupaten Batubara termasuk ke dalam Karesidenan Sumatera Timur.
Penduduk Kabupaten Batubara didominasi oleh etnis Jawa, kemudian diikuti oleh orang-orang Melayu, dan Suku Batak. Orang Mandailing merupakan sub-etnis Batak yang paling banyak bermukim disini. Pada masa kolonial, untuk memperoleh prestise serta jabatan dari sultan-sultan Melayu, banyak di antara orang-orang Mandailing yang mengubah identitasnya dan memilih menjadi seorang Melayu. Etnis Jawa atau yang dikenal dengan Pujakesuma (Putra Jawa Keturunan Sumatra) mencapai 43% dari keseluruhan penduduk Batubara.[3] Mereka merupakan keturunan kuli-kuli perkebunan yang dibawa para pekebun Eropa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Selain itu orang Minangkabau juga banyak ditemui di kabupaten ini. Sejak abad ke-18, Batubara telah menjadi pangkalan bagi orang-orang kaya Minangkabau yang melakukan perdagangan lintas selat. Mereka membawa hasil-hasil bumi dari pedalaman Sumatra, untuk dijual kepada orang-orang Eropa di Penang dan Singapura.[4] Seperti halnya Pelalawan, Siak, dan Jambi; Batubara merupakan koloni dagang orang-orang Minang di pesisir timur Sumatra.[5] Dari lima suku (klan) asli yang terdapat di Batubara yakni Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh dan Suku Boga, dua di antaranya teridentifikasi sebagai nama luhak di Minangkabau, yang diperkirakan sebagai tempat asal masyarakat suku tersebut.

Inalum Batu Bara

Jembatan Persahabatan dan Kerjasama Dua Bangsa
PT. Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) dibentuk di Jakarta pada 6 Januari 1976 sebagai perusahaan joint venture antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Nippon Asahan Aluminium Co.Ltd. (NAA) sesuai dengan Master Agreement yang ditandatangani tanggal 7 Juli 1975 di Tokyo, Jepang. Tujuan pembentukan INALUM adalah untuk mewujudkan Proyek Asahan guna membangun dan mengoperasikan Pabrik Peleburan Aluminium (PPA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Proyek Asahan dibangun dengan tiga tujuan utama :
1. Sebagai simbol persahabatan dan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang.
2. Memanfaatkan potensi tenaga sungai Asahan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air, mempercepat perkembangan ekonomi Indonesia khususnya kawasan Sumatera Utara, dan mempromosikan industri aluminium di Indonesia, dan
3. Supplai aluminium ingot yang berkesinambungan ke Jepang.
Pada INALUM melekat harapan terwujudnya kesejahteraan regional, daya saing industri nasional dan daya saing internasional Indonesia.
Total investasi yang tertanam di Proyek ini adalah ¥ 411 miliar atau sekitar US$ 2 milliar pada saat itu. Saat ini perbandingan saham antara Pemerintah Indonesia dengan NAA adalah 41,12% : 58,88%.
Pelabuhan Kuala Tanjung
Pelabuhan Kuala Tanjung dibangun untuk keperluan pengoperasian Pabrik Peleburan Aluminium (PPA). Dihubungkan dengan jembatan (trestle) yang menjorok ke laut sejauh 2,5 km dan dilengkapi dengan Dermaga A panjang 200 m, Dermaga B panjang 150 m, dan Dermaga C panjang 80 m.
Dermaga A dan B gigunakan khusus untuk inalum yang dapat disandari oleh kapal berbobot 25.000 DWT dan 16.000 DWT serta Dermaga C dapat disandari kapal berbobot 3.000 ton yang disumbangkan kepada Pemerintah RI untuk digunakan bagi kepentingan umum.
Bendungan Penadah (Intake) Tangga
Dibangun dari beton dan berbentuk busur (Concrete Arch) yang merupakan bendungan busur pertama di Indonesia serta memiliki dimensi cukup besar. Berfungsi untuk membentuk tinggi energi yang diperlukan untuk membangkitkan tenaga di Stasium Pembangkit Listrik. Mulai dibangun pada bulan Mei tahun 1978 dan selesai bulan Agustus 1982. Tinggi bendungan 82 meter dari dasar sungai Asahan, dengan volume 4.880.000 m3.
Di Sumatera Utara
Sarana dan prasarana industri Proyek Asahan berlokasi di Sumatera Utara dan mulai dibangun oleh INALUM pada tahun 1978. INALUM mulai membangun PLTA dengan kapasitas terpasang 604 MW dan Pabrik Peleburan Aluminium (PPA) dengan kapasitas produksi 225.000 ton aluminium ingot per tahun. Kedua fasilitas tersebut mulai beroperasi pada 1982.
INALUM sampai saat ini merupakan pabrik peleburan aluminium satu-satunya di Asia Tenggara. Banyak masyarakat yang masih mengenal INALUM hanya sebagai pabrik peleburan aluminium yang berada di Kuala Tanjung. Sebenarnya INALUM lebih dari itu.
Luas wilayah yang secara langsung dikelola INALUM untuk mendukung industri aluminiumnya mencapai hampir 1.300 ha dan tersebar di 3 Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Proyek Asahan terdiri terdiri dari PLTA yang tterletak di Paritohan, Kabupaten Toba Samosir dan Pabrik Peleburan Aluminium (PPA) di Kuala Tanjung, Kabupaten Batubara.
Juga dibangun sarana dan prasarana bagi kedua proyek tersebut seperti pelabuhan, infrastruk jalan, perumahan karyawan, sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, sarana ollah raga dan lainnya.
Bendungan Pengatur (Regulating Dam) Siruar
Bendungan yang dibangun di Siruar berfungsi sebagai pengendali ketingggian permukaan air Danau Toba dan debit air yang mengalir ke Sungai Asahan, guna dapat dipergunakan untuk membangkitkan tenaga listrik di PLTA Siguragura dan PLTA Tangga. Mulai dibangun pada bulan Juni tahun 1978 dan selesai pada Januari 1981. Bendungan Pengatur Siruar berjenis struktur Concrete Gravity dengan tinggi bendungan 39 meter dari dasar sungai Asahan.
Bendungan Penadah (Intake) Siguragura
Bendungan Siguragura tterletak 23,3 km dari hulu sungai Asahan (Danau Toba), atau 8,8 km dari bendungan Siruar atau 1 km di hilir Air Terjun Siguragura. Bendungan ini berfungsi untuk menjamin ketersediaan volume air dan besarnya energi air yang diperlukan bagi pembangkit tenaga listrik di PLTA Siguragura.
Mulai dibangun pada bulan Mei 1978 dan selesai bulan Desember 1981, bendungan Siguragura berjenis struktur Concrete Gravity dengan tinggi bendungan 46 meter dari dasar Sungai Asahan, dengan volume 6.140.000 m3.
Rumah Pengendali.
Semua pengendalian seperti membuka dan menutup pintu air, menjalankan atau menghentikan putaran turbin, menurunkan atau menaikkan pembangkit tenaga listrik oleh generator dan lain-lainnya diatur melalui rumah pengendali.
Listrik yang dibangkitkan di Stasiun Pembangkit Listrik Siguragura selanjutnya dialirkan ke Kuala Tanjung. Sebelum dialirkan ke Kuala Tanjung, aurs listrik diatur di Rumah Pengendali. Pengendalian ini dilaksanakan dengan bantuan komputer di rumah pengendali PLTA Siguragura, dengan sistem kendali jarak jaur. Rumah pengendali dipersiapkan untuk mengendalikan pengoperasian semua PLTA yang akan dibangun di sepanjang Sungai Asahan.
Stasiun Pembangkit Listrik Siguragura.
Stasiun Pembangkit lListrik Siguragura dibangun 200 m dibawah permukaan tanah, terdiri dari dua ruangan besar, yaitu ruang pembangkit listrik dan ruang ttransformator utama. Dengan 4 perangkat pembangkit tenaga listrik (turbin), Siguragura dapat menyediakan tenaga listrik sebesar 206 MW.
22 Km Access Road Porsea – PLTA Tangga.
Jalan penghubung (access road) yang dimaksud adalah jalan dari Porsea ke PLTA. Pelaksanaan pembangunan jalan penghubung ini dilakukan pada Juni 1977 dan diselesaikan secara berturut-turut pada bulan Juni dan Desember tahun 1978.
Stasiun Pembangkit Listrik Tangga
Stasiun Pembangkit Listtrik Tangga dibangun di tepi Sungai Asahan, di lembah Sampuran si Harimau. Di dalam gedung ini dihasilkan tenaga listrik oleh air dari bendungan penadah Tangga yang masuk melalui terowongan saluran atas yang panjangnya 1.618 m.
Bila PLTA Tangga dan Siguragura digabung, maka diperoleh kapasitas terpasang sebesar 604 MW, kapasitas puncak 513 MW dan kapasitas pasti sebesar 426 MW. Medan saklar Tangga terdapat di sebelah bangunan tenaga.
Sistem Tenaga Listrik
Tenaga listrik dibutuhkan dibutuhkan oleh pabrik peleburan aluminium untuk kebutuhan perlengkapan pabrik seperti pabrik penuangan, peralatan ban berjalan, derek pada setiap pabrik dan bengkel kerja. Bangunan sistem penyediaan tenaga listrik terdiri dari fasilitas penerimaan 33 KV, peralatan konversi tenaga listrik, ruang pusat pengendali, peralatan listrik pembantu untuk gardu induk, fasilitas penyediaan tenaga listrik serta diesel generator.
Pemukiman di Paritohan
Pemukiman karyawan bagi karyawan INALUM yang bekerja di PLTA Asahan, dibangun di atas lahan seluas 80 ha di Paritohan. Pemukiman ini mencakup gedung kantor sementara, perumahan, asrama, graha tamu, gedung pertemuan, klinik, toko serba ada, gedung olahraga, masjid dan gereja, serta dilengkapi dengan penjernihan air minum dan pembersihan air buangan.
Pabrik Karbon
Pabrik yang berfungsi memproduksi balok anoda karbon untuk digunakan pada tungku-tungku reduksi ini terdiri dari bagian karbon mentah, bagian pemanggangan anoda dan bagian pemasangan tangkai.
Pabrik Tungku Reduksi
Pabrik Tungku Reduksi terdiri dari 3 unit gedung reduksi masing-masing berukuran panjang 648 m, lebar 52 m dan tinggi 29 m. Tungku reduksi atau pot pada ketiga gedung reduksi ini berjulan 510 buah. Tungku reduksi tipe anoda pangga 175 KA, kini telah dikembangkan menjadi 190 KA dan saat ini sedang dikembangka ke nilai arus yang lebih tinggi, beroperasi pada suhu 960oC. Setiap tungku reduksi atau pot dapat menghasilkan 1,5 ton atau lebih metal per hari.
Pabrik Penuangan
Logam aluminium cair dari tungku reduksi dibawa ke pabrik penuangan dan dimasukkan ke dalam dapur penampung (holding furnace) dan setelah dibersihkan, logam cair tersebut dituang ke dalam mesin cetak untuk menghasilkan batangan (ingot) aluminium, masing-masing beratnya 22,7 kg dengan kadar kemurnian antara 99,70% - 99,92%.
Peralatan utama pabrik penuangan terdiri dari sepuluh buah dapur penampung dengan kapasitas 30 ton, satu tungku pelebur 30 ton dan tujuh mesin pencetak ingot dengan kapasitas 12 ton per jam. Pabrik penuangan yang panjangnya 126 m dengan lebar 61,5 m, terbuat dari kontruksi baja impor sebanyak 501,6 ton dan 208 ton dibeli dari dalam negeri.
Fasilitas Penunjang
Fasilitas penunjang merupakan bagaian yang tidak langsung dari pabrik, namun mutlak diperlukan untuk mendukung kontinuitas operasi pabrik diantaranya bengkel-bengkel pemeliharaan dan perbaikan peralatan mesin, listrik dan lain sebagainya. Disamping itu juga terdapat fasilitas penyimpanan bahan baku antara lain silo alumina (3 unit masing-masing 20.000 ton), sillo kokas (20 unit masing-masing 1.400 ton), silo hard pitch (5.400 ton). Fasilitas gedung kantor INALUM memiliki luas 3.300 m2 dengan fasilitas-fasilitas lainnya.
120 km Jaringan Transmisi Tegangan Tinggi
Tenaga listrik yang dibangkitkan oleh gadungan PLTA Siguragura dan Tangga disalurkan melalui saluran transmisi ke Pabrik Peleburan Aluminium (PPA) di Kuala Tanjung sejauh 120 km yang direntangkan pada 271 menara baja. Aliran listrik ini harus dapat dijamin kepastiannya, karena tungku-tungku peleburan beroperasi terus-menerus selama 24 jam per hari selama kurang lebih 6 tahun untuk setiap tungku.
Pabrik Peleburan Aluminium
Pabrik Peleburan Aluminium (PPA) beserta prasarana pendukung produksinya dibangun di atas area seluar 200 ha di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Pabrik peleburan dengan kapasitas desain 225.00 ton aluminium batangan (ingot) per tahun ini dibangun bersama-sama dengan pelabuhan khusus di Kuala Tanjung.
Kota Tanjung Gading Pemukiman dan fasilitas kota
Untuk keperluan perumahan bagi karyawan pabrik dibangun sebanyak 1.340 buah rumah terdiri dari berbagai tipe yang disediakan bagi karyawan yang telah berkeluarga, serta asrama untuk karyawan yang belum berkeluarga. Perumahan yang dibangun disebuah kota permukiman seluar 200 ha, yang dilengkapi dengan fasilitas modern, terletak di Tanjung Gading yang berjarak 16.5 km dari pabrik peleburan. Kota pemukiman tersebut dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk pendidikan, kantor pemerintahan, perdagangan, sarana olahraga dan tempat-tempat beribadah.
16.5 Km Access Road Air Putih – Kuala Tanjung
Jalan penghubung (access road) antara Kebun Kopi di Kecamatan Air Putih dengan Kuala Tanjung dibangun untuk mencapai Pabrik Peleburan Aluminium (PPA). Jalur jalan sepanjang 16.5 km digunakan sebagai jalan operasi proyk dan juga masyarakat sekitar, serta untuk menghubungkan daerah Timur Propinsi Sumatera Utara ke pelabuhan Kuala Tanjung.
Telekomunikasi
Sistem telekomunikasi terdiri dari sentral otomat di Tanjung Gading dengan kapasitas 1.000 saluran.

Kerajinan Tenun Batu Bara

Indonesia termasuk negara yang dikenal sebagai pengekspor kain tenun. Salah satunya adalah songket Batubara. Keunikan corak dan bahan kainnya menjadi salah satu daya tarik kain ini diminati hingga keluar negeri., Di balik itu pula ada kisah yang tak kalah unik dalam setiap helaian songket yang dihasilkan. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Batubara, Aguslan Simanjuntak, ketika bertandang ke kantor MedanBisnis, akhir pekan lalu, produksi songket Batubara selama ini bukanlah hasil maksimal para pengrajinnya.
“Mayoritas mata pencaharian warga Batubara kan nelayan, jadi para ibu dan remaja putri yang memiliki waktu senggang di tengah mengerjakan pekerjaan rumah dan membantu suami mengolah hasil laut, barulah mereka menenun,” ungkap Aguslan.
Pada era 70-an, di kawasan itu setiap rumah pasti memiliki alat tenunannya sendiri, berupa alat tenun manual bernama gedokan. Gedokan itu biasanya diletak di bawah (kolong) rumah panggung, dan para ibu baru akan turun menenun jika ada waktu senggang.
Tenunan yang bersifat menyambi itulah yang membuat produksi songket tidak bisa diprediksi, sehingga bicara soal memasarkan produk sangat sulit dijangkau masyarakat di sana. Hanya sebagian warga saja yang serius mengelola tenunan songket menjadi bisnis. Sisanya, hanya menggunakan songket untuk keperluan keluarganya sendiri.
Bagi masyarakat Melayu Batubara, mengenakan kain songket untuk acara resmi seperti pesta perkawinan, adalah suatu hal yang wajib. Kain dibuat sebagus mungkin berdasarkan benang yang kadang menunjukkan taraf kesejahteraan mereka.
“Jadi semakin bagus songket yang dipakai, makin baiklah kondisi kehidupannya di mata para tetangga. Jadi memakai songket bisa menjadi hal yang prestisius,” ujar Aguslan.
Songket menjadi bagian kultur yang sulit dipisahkan dari masyarakat Batubara pada awalnya. Bahkan tolak ukur bagi seorang remaja putri untuk menikah adalah ketika dia sudah bisa menenun. Jika belum bisa, ia dianggap tidak layak untuk dijadikan istri. Sebab, ketika berumah tangga, pemenuhan kebutuhan pakaian dan kain biasanya dikerjakan sendiri oleh si istri, sesekali sambil bersenandung dekat anaknya yang bermain atau sedang tidur tak jauh darinya. Kadang juga, jika letak rumah berdekatan dengan tetangga yang juga sedang menenun, mereka akan ngobrol dengan sambil melempar pantun dan bercengkrama hingga sore.
Kain songket yang dikerjakan dengan santai, meski terlihat sederhana,  pembuatan songket bukanlah pekerjaan mudah. Untuk mengerjakan satu potong kain songket ukuran dua meter, dibutuhkan waktu tujuh hingga 12 hari. Bergantung pada tingkat kerumitan motif yang dituangkan pada kain. Motif yang dibuat juga beraneka ragam, sesuai dengan falsafah yang diyakini masyarakat Melayu nusantara. Pucuk Rebung, Bunga Manggis, Bunga Cempaka, Pucuk Caul, Tolak Betikam, hingga Naga Berjuang menjadi motif yang menghiasi kain songket Batubara.
Keragaman, tingkat kesulitan hingga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan songket pun menjadikan kain yang dipakai sebagai pakaian kebesaran tersebut dibandrol dengan harga bervariatif bagi mereka yang ingin menjualnya bagi orang lain. Satu potong songket dipasarkan mulai dari harga Rp 150 ribu untuk jenis kerudung hingga Rp 2 juta rupiah untuk kain sarung. Sementara biaya yang harus dikeluarkan, dipergunakan untuk membeli benang sutra dan polyester dengan kebutuhan 45 ribu meter benang untuk menghasilkan satu potong kain songket ukuran dua meter.

Profil bupati Batu Bara

DATA PRIBADI :
NIP : 400037640
Nama : OK ARYA ZULKARNAIN, SH,MM
Tempat Lahir : Solo
Tanggal Lahir : 3/24/1956
 Agama : Islam




Pantai bunga Batu Bara

Sekitar satu jam dari Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara terdapat sebuah tempat wisata yang cukup digemari masyarakat sekitar. Pantai Bunga namanya. Pantai ini terletak di wilayah pesisir timur Sumatera Utara dan berada di daerah Kabupaten Batubara. Pantai Bunga memiliki tanah berpasir yang sangat putih. Akan tetapi, pantai ini sangat kecil dan minim wahana-wahana wisata. Tempatnya pun terasa kurang terurus meskipun relatif bersih dibanding pantai terkenal lain. Panjang lokasi wisata hanya sekitar 100-200 meter saja.

Di dekat pusat wisata Pantai Bunga terdapat jalan panjang yang berpasir putih. Kita bisa berjalan-jalan disini sambil menikmati pemandangan. Saya tidak tahu persis kemana ujung jalan akan membawa kita, mungkin ke pantai sebelah. Oh, ya pasir putih di Pantai Bunga ini sudah sedikit loh sebenarnya. Konon katanya beberapa puluh tahun lalu pasirnya dijual ke Singapura untuk dipakai di sana.

Rabu, 05 Desember 2012

Gambar Istana Limo laras


Jalan Menuju Istana Limo laras

Lantaran kurang populer, saya mencoba menanyakan kepada teman atau kerabat yang tinggal di Kisaran, Tebing Tinggi, Lubuk Pakam atau wilayah sekitar perihal rute kendaraan umum agar sampai di lokasi tujuan Istana Lima Laras. Ternyata banyak yang kurang paham. Lain halnya apabila kita menggunakan kendaraan pribadi. Dari Kota Medan, kita dapat leluasa menyusuri jalan darat menuju Kota Lima Puluh, lalu ke Labuhan Ruku kemudian ke Sungai Bejangkar, Batu Bara, Tanjung Tiram. Waktu dan jarak tempuh Medan-Tanjung Tiram jaraknya sekitar 136 km, 4 jam.
Kalau dari tempat saya tinggal di Perumahan Perhubungan Indah Blok C-16, Desa Kolam, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang bisa menyusuri jalan pesisir pantai mulai dari Percut—Pantai Labu—Pantai Cermin—Teluk Mengkudu—Tanjung Beringin—Kuala Tanjung—Tanjung Tiram.
Sementara bagi yang ingin mencoba naik kendaraan umum [bus] dari Medan terminal Amplas, naik bus Sartika-Tanjung Tiram. Kalau dari Kisaran bisa menggunakan Merpati Tour jurusan Sei Bejangkar Batu Bara. Ongkosnya Rp. 25.000, turun di Lima Laras, lalu naik ojeg. Orang situ dan orang Sumatera Utara pada umumnya menyebutnya RBT [rakyat banting tulang]. Ongkosnya Rp. 10.000,- atau bisa naik beca [becak]. Istana Lima Laras terlihat di tepi jalan. Persis di depan Istana Lima Laras terdapat Masjid Al-Mukarram.
Lain halnya apabila menggunakan jasa angkutan kereta api. Naik K.A.ekonomi Lancang Kuning jurusan Medan-Tanjung Balai, turun di Sei Bejangkar, ongkosnya Rp. 14.000,- Lalu dilanjutkan dengan angkutan menuju desa Lima Laras.
Istana Lima Laras terletak di perkampungan nelayan. Dulunya tempat ini sangat ramai disinggahi kapal-kapal perniagaan. Sekarang tempat ini [pelabuhan Lima Laras] seperti perkampungan nelayan biasa dengan kapal-kapal motor berukuran kecil. Sementara dermaga Batu Bara masih ramai dan merupakan jalur terbuka bagi pelayaran dari dan menuju Port Klang Malaysia.
Jadi, pemberitaan dan tulisan yang menyebutkan akses menuju desa lima laras sulit. Sungguh suatu hal yang keliru lagi menyesatkan.

Sejarah rumah datuk Batu bara



Istana Lima Laras adalah istana lawas yang sudah berusia 100 tahun [2012-1912]. Istana ini tidak begitu populer seperti halnya istana-istana peninggalan Kerajaan Melayu di Sumatera Utara khususnya Istana Maimun Medan. Jangankan orang dari luar daerah, mereka yang berasal dari desa setempat saja tidak tau perihal keberadaan istana Lima Laras. Sebab, pada umumnya mereka menyebut Istana Lima Laras dengan sebutan rumah datuk atau rumah raja, bukan istana.
Dahulu istana Lima Laras disebut Istana Niat Lima Laras. Lima Laras adalah nama sebuah desa yang terletak di Kec. Tanjung Tiram, Kab. Batu Bara, Sumatera Utara. Sedangkan nama dari Istana Niat Lima Laras. Lebih didasarkan kepada sebuah niat, iktikad dan nazar dari Datuk Muhammad Yuda, ditulis pula Datuk Matyoeda Sridiraja, Raja dari Kerajaan Lima Laras XII. Matyoeda adalah anak dari Datuk Haji Djafar Raja Sri Indra. Datuk Matyoeda memiliki cucu yang bernama Datuk Muhammad Azminsyah, 72 tahun, yang sampai sekarang masih hidup dan menjadi “penjaga” sekaligus pemangku adat Melayu Istana Lima Laras. Dari beliaulah pengunjung bisa mendapatkan informasi seputar Istana Lima Laras. Sebab, sumber narasi terpilih berdasarkan literatur yang khusus membahas dan mengupas Istana Lima Laras dan Kerajaan Lima Laras, boleh dikata sangat sedikit dan dangkal.
Seperti yang semula diutarakan, Istana Niat Lima Laras dibangun dan didirikan atas manifestasi niat dan nazar Datuk Matyoeda, manakala perniagaannya “selamat” sekembalinya dari Malaka [Penang] menuju ke Asahan, tepatnya Batu Bara. Perniagaan Datuk Matyoeda berupa kopra, damar, dan rotan yang dibawa dengan kapal besar sampai ke Malaka, Singapura, Thailand.
Perniagaan yang “selamat” di sini maksudnya, lolos dari ancaman pemerintahan kolonial dan VOC. Pada masa itu, terjadi rivalitas antara VOC dan Raja Kerajaan Lima Laras XII. Sehingga pemerintah kolonial Hindia Belanda terang-terangan mengeluarkan maklumat agar Raja Datuk Matyoeda menghentikan seluruh perniagannya.
Nazar serta niat Datuk Matyoeda terpenuhi. Rombongan dan dagangannya selamat membawa hasil gemilang. Kemudian dengan berbekal hasil perniagaan sebesar 150.000 gulden dan tenaga ahli dari negeri Tirai Bambu. Didirikanlah Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda beserta keluarga kerajaan menempati istana tersebut lebih kurang selama 5 tahun [1912-1917].